Kota Yogyakarta sebagai salah satu
kota yang unik dalam hal bentuk pola tata ruangnya. Keunikan ini disebabkan
karena dalam tata ruang kota terdapat suatu poros sumbu imajiner. Poros ini
membentang dari arah Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih –
Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur
linear dan menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna
nilai filosofis.
Sumbu imajiner ini lebih memiliki
arti secara simbolik daripada secara fisik. Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak
yang satu garis lurus merupakan sumbu filosofinya Kraton Yogyakarta. Dikatakan
sumbu filosofi karena garis penghubung Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak
merupakan sumbu yang nyata yang berupa jalan. Adapun sebagai sumbu imajinernya
adalah dari Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan.
Masyarakat di Yogyakarta, Gunung Merapi,
Laut Selatan dan Keraton Yogyakarta mengandung makna penting tersendiri.
Kehidupan di dunia merupakan sebuah harmoni antara mikrokosmos (jagat cilik)
dan makrokosmos (jagat gede). Keharmonisan itu harus dijaga satu sama lain,
tidak boleh terjadi ketimpangan. Peran Gunung Merapi dan Laut Selatan ini
dipercaya sebagai pusat kedudukan mikrokosmos (jagat cilik) tersebut. Sedangkan
Keraton merupakan pusat makrokosmos (jagat gede).
Puncak Merapi sebagai poros utara yang
kemudian ke Laut Selatan melintasi Monumen Tugu kemudian melewati Jalan
Malioboro. dan dari Jalan Malioboro, garis kosmik Poros Utara-Selatan itu
membentang ke Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta menuju Alun-Alun Selatan.
Selanjutnya, garis itu melintas ke Bantul sebelum akhirnya menuju Laut Selatan.
Terdapat juga sebuah filosofi dari Garis Lurus Merapi, Keraton dan Pantai
Selatan dimana garis lurus ini juga menggambarkan bahwa Gunung Merapi sebagai
batas utara Yogyakarta, Pantai Selatan sebagai batas selatannya dan dengan
Kraton sebagai Poros atau Pengaturnya.
Selain itu, untuk Tugu Jogja sendiri juga menjadi
simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja
(golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini memiliki arti yaitu persatuan antara
khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Kemudian filosofi tentang
keberadaan Keraton Yogyakarta yang berada dititik tengah antara Gunung Merapi
dan Laut Selatan, merupakan titik keseimbangan antara api dan air. Api yaitu
dilambangkan dengan Gunung Merapi, sedangkan air yaitu dilambangkan dengan Laut
selatan.
Kraton Yogyakarta dan merapi
mempunyai hubungan bahwa pintu masuknya melalui 2 pohon ringin yang
berada di Alun-Alun utara. Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai tempat tinggal,
pusat pemerintahan, dan pusat budaya, khususnya budaya Jawa.
Adapun perlambangan dari Panggung Krapyak ke utara sampai Kraton
menggambarkan seorang bayi sejak lahir dari rahim sang ibu, menginjak dewasa,
berumah tangga, sampai melahirkan kembali. Sedangkan dari Tugu ke Kraton adalah
melambangkan perjalanan manusia menghadap sang khalik. Pada awalnya Panggung
Krapyak merupakan tempat yang digunakan raja-raja Mataram (Prabu Hanyokrowati
dan HB I) untuk berburu rusa, sehingga pada kawasan alun-alun selatan ke arah
selatan ini merupakan area hutan lebat. “Dalam pembangunan Ibukota
Ngajogjakarta-Adiningrat, bekas-bekas tempat perburuan hewan itu atas titah Sri
Sultan Hamengku Buwono I tidak dirusak semua, sebagian ketjil masih berwujud
hutan, letaknya ada dibelakang Kraton, jang selanjutnya diberi nama
Krapjak.”(Kota Jogjakarta 200 Tahun : 18).
Panggung Krapyak terletak 2 km sebelah selatan Kraton, bentuk
Panggung Krapyak yang menyerupai kastil batu ini dahulu digunakan raja untuk
menonton para prajurit berlatih dan berburu rusa (menjangan). Secara filosofis
simbolik melambangkan pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara
Panggung Krapyak sebagai yoni (alat kelamin wanita) dengan Tugu Pal putih
sebagai Lingga, melambangkan proses kelahiran manusia.
Pantai selatan (parangkusumo)
terdapat dua buah batu sebagai tempat duduk raja penguasa laut selatan, dan
mengadakan ritual di pantai parangkusumo yang tujuannya untuk menjadi raja.
Pantai selatan juga digunakan untuk melarung atau labuhan dalem mempersempahkan
sesajian kain ageman dalem yang sudah pernah dipakai dihanyutkan ke laut tujuan
untuk tradisi kakek moyang.
Yogyakarta sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan,
secara khusus mempunyai struktur bermakna filosofis-simbolis, yaitu berdasarkan
garis imajiner yang diyakini membentuk garis lurus. Pada perkembangan kota
Yogyakarta pada saat ini, sumbu imajiner sudah banyak mengalami perkembangan
namun masih tetap mempertahankan kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik,
etik, simbol, dan filosofis-religius eksistensinya yang mempunyai keterkaitan
dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.
Munere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit evertitur duo. Legendos tractatos honestatis ad mel. Legendos tractatos honestatis ad mel.
, click here →